Mengenal Politik, Hukum dan Industri Migas Melalui Kegiatan Bedah Buku EMGI

EMGI UP45 (Energi Management and Governance Institute) Rabu, 14 September 2016, mengadakan kegiatan Bedah Buku Energi dan Migas yang dihadiri dosen-dosen muda UP45. Ini merupakan kegiatan rutin dari devisi EMGI yang diadakan setiap minggu dan diwajibkan bagi seluruh dosen-dosen muda untuk ikut serta dan membedah buku Energi dan Migas sesuai yang sudah ditetapkan.

Pembedah buku pada kesempatan kali ini adalah Bapak Wahyu Suroatmodjo, M.IP. dan Ibu Lucia Setyaningtyas, SH., M.Kn. Judul buku yang dibedah kali ini adalah Migas (Politik, Hukum, Industri). Penulis buku ini adalah Bapak Suyitno Patmosukismo. Beliau merupakan penemu ladang minyak pertama terbesar pertamina di Indonesia.

Pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia mengacu pada UUD 1945 pasal 33 dan UU yang berlaku. Hukum bersumber dari undang-undang yang telah ada baik itu tentang eksplorasi maupun eksploitasi. Terkait migas, hukum berbicara pada objek materialnya. Hal itu terjadi karena seringkali hukum diperangaruhi oleh politik. Politik merupakan segala kebijakan yang dibuat untuk mengelola migas. Adanya berbagai UU yang dijadikan landasan dalam pengelolaan sumberdaya alam menyebabkan berbagai persepsi dan ada yang bersifat liberal.

Buku ini mengkritik adanya liberalisasi dalam undang undang migas. Migas ditujukan untuk kesejahteraan Negara. Hal ini tertuang dalam UU No. 22/2001 tentang pertambangan minyak dan  dan gas bumi. Dalam UU ini, kegiatan pengusahaan migas dituntut untuk lebih mampu mendukung kesinambungan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat. Selanjutnya kegiatan di hulu dilakukan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan, sedangkan kegiatan di hilir dilaksanakan oleh perusahaan setelah mendapat izin usaha dari pemerintah. Dari UU tersebut disebutkan bahwa kegiatan hulu migas dapat dilakukan oleh perusahaan internasional secara luas. Agar fungsi pemerintah lebih efektif dan efisien maka BP Migas diubah menjadi SKK Migas.

Menurut Wahyu, buku ini memberikan solusi agar tidak terjadi keberpihakan kepada perusahaan migas yang diberi nama politik jalan tengah yang mengharuskan adanya undang-undang migas yang baru. Ada berbagai pertanyaan yang diajukan oleh para dosen muda UP45 terkait buku Migas ini, salah satunya dari Randi yang menanyakan sudah sampai sejauh mana revisi judicial review terkait UU Migas yang baru dan ada tidak UU yang tumpang tindih?, Wahyu menanggapi bahwa “pada kenyataannya judicial review telah dilakukan pada tahun 2003”. Pembuatan judicial review ini tidaklah mudah karena harus mensejahterakan masyarakat. Seringkali dalam judicial review ini melihat siapa yang berkepentingan sehingga belum selesai hingga saat ini. Energi politik yang begitu besar mampu mengalahkan hukum yang mengelola migas di Indonesia, lanjutnya.

“Mengapa setiap berganti presiden selalu berganti kebijakan padahal kebijakan (migas) yang sebelumnya belum terlihat hasilnya dan bagaimana idealnya?” Merupakan pertanyaan dari Melda Ariyanti. Pada kenyataannya, saat ini presiden tidak pernah merubah kebijakan yang ada. Presiden hanya menjalankan amanat konstitusional yang telah ada. Yang berbeda hanya cara pelaksanaannya atau penyampaiannya saja. (FAG)