Hambatan Investasi Hulu Migas Akan Ditebas

Pemerintah terus berupaya memperbaiki iklim investasi hulu minyak dan gas bumi (migas) seiring terpuruknya harga minyak dunia. Sejumlah hambatan akan ditebas guna menggairahkan kembali sektor hulu migas. Salah satunya merevisi pungutan pajak migas yang diatur Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

"Kita sedang kerjakan, revisi ini untuk memudahkan orang berinvestasi di Indonesia dan memudahkan investor bekerja. Kalau belum apa-apa sudah dipajaki mana investor mau," ujar Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Luhut Binsar Panjaitan dalam Forum Ketahanan Energi Nasional, di Hotel Sahid, Jakarta, Kamis (8/9/2016) Menurutnya pungutan pajak yang diatur dalam beleid tersebut menghambat investasi di sektor hulu migas di tengah rendahnya harga minyak dunia. Padahal, saat ini setiap negara sedang berlomba-lomba menarik investor untuk menanamkan modalnya termasuk di sektor hulu migas.
 

Sebab itu Kementerian ESDM mendesak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk memberikan kemudahan berupa insentif baik dari segi fiskal, perpajakan maupun kemudahan lainnya. "Saya harus bicara sekarang sama Bu Sri Mulyani kalau mau dampak berganda pemerintah harus kurangi pajaknya atau hanya mau ambil duit dari situ saja," kata Luhut.

Dia menjelaskan bahwa multiplier effect yang ditimbulkan dapat memangkas harga gas di hulu, sehingga di hilir dapat lebih murah dan berdaya saing. Berdasarkan skenario penurunan harga gas di hulu, kata Luhut akan diturunkan pada kisaran harga USD4-6 per juta british thermal unit (MMBTU), sehingga akan terlihat dampak penerimaan pajak yang ditimbulkan dari penurunan harga gas tersebut."Sektor industri sedang mengkaji dampak berganda yang ditimbukan,” jelasnya.
 

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM IGN Wiratmadja Puja mengakui, perbaikan aturan-aturan yang ada menjadi kunci untuk menambah daya tarik sektor migas dalam negeri. Dia mengatakan, pajak yang dikenakan di masa eksplorasi memang memberatkan, karena industri belum menghasilkan dan bahkan berpotensi kehilangan uang.

"Tapi kalau di masa produksi, pajak itu normal. Ada pajak badan, pajak penghasilan dan sebagainya. Makanya PP No 79/2010 kita usulkan untuk direvisi supaya atraktif di hulu," tuturnya.
Asosiasi Perminyakan Indonesia (Indonesian Petroleum Assotiation/IPA) sebelumnya mengusulkan perbaikan terkait pungutan pajak sektor minyak dan gas bumi yang diatur dalam PP No 79/2010. Pasalnya asosiasi beranggapan aturan tersebut telah mengubah tata cara perpajakan dan cost recovery dari operasi migas yang berdampak pada menurunnya investasi migas di Indonesia.

Tidak hanya itu, asosiasi juga keberatan dengan aturan pajak lainnya di antaranya berkaitan dengan pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk kegiatan eksplorasi di lepas pantai dan aturan pajak lainnya yang dinilai membebani kontraktor. Industri migas beralasan, migas adalah asset negara, sehingga segala pajak atas produksi migas seharusnya ditanggung negara dan tidak di bebankan kepada kontraktor. Terlebih, industri telah menanggung risiko tinggi dalam melaksanakan operasi kegiatan hulu migas. Industri migas juga membutuhkan modal besar dan merupakan investasi jangka panjang, sehingga membutuhkan arahan dan kepastian hukum jelas.

Pakar energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto beranggapan redahnya harga minyak dunia berdampak langsung terhadap investasi hulu migas. Namun di luar itu, rendahnya investasi juga dipengaruhi faktor penerapan pajak industri hulu migas. Sebab itu, revisi UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mendesak segera direvisi untuk mendongkrak investasi di sektor ini. "Karena, sepanjang sistem kontrak menggunakan kontrak bagi hasil antara kontraktor dan SKK Migas, maka kontraktor akan menjadi subjek pajak secara langsung. Hal itu sebagai penyebab rendahnya minat investor," kata dia.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat SKK Migas Taslim Yunus mengatakan, realisasi investasi hulu migas semester I/2016 hanya sebesar USD5,65 miliar, lebih rendah cari capaian semester I/2015 sebesar USD5,65 miliar. Dari jumlah itu, investasi untuk penemuan cadangan migas baru hanya sebesar USD367 juta. Rendahnya investasi dipastikan berdampak pada penurunan penemuan cadangan migas baru. (izz)

Sumber