Kuliah Online Kolaborasi Biro Psikologi UP45 dan Action Kita : Pendidikan Karakter Anak Peduli Lingkungan
Biro psikologi UP45 bekerja sama dengan Komunitas Psikologi Action Kita melaksanakan kuliah online yang ke dua dengan tema “Pendidikan Karakter Anak Peduli Lingkungan” pada Minggu, 19 April 2020. Kuliah online ini diikuti oleh orang tua muda, guru, praktisi pendidikan dan masyarakat umum. Narasumber dalam kegiatan ini adalah Febriyanti Angelia Ginting, S.Pd., M.Sc. (Dosen Teknik Lingkungan UP45 dan Pemerhati Lingkungan) dan Sapta Kurniawati, M.Psi (Dosen Psikologi UP45, Praktisi Pendidikan, dan Konselor).
Pada kegiatan ini, Febri memaparkan bahwa ada 18 butir nilai-nilai dalam pendidikan karakter dan diperlukan metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Salah satunya adalah metode keteladanan dan metode pembiasaan. Tujuan dari pendidikan lingkungan hidup adalah mengubah perilaku individu menjadi perilaku yang positif terhadap lingkungan. “Untuk membentuk karakter anak peduli lingkungan maka orang tua harus memberikan contoh terlebih dahulu mengingat anak adalah peniru yang ulung. Pada usia dini akan lebih mudah membentuk karakter anak karena anak lebih cepat menyerap perilaku dari lingkungan sekitarnya” lanjut Febri.
Lebih lanjut Febri menjelaskan bahwa karakter peduli lingkungan juga bisa berdampak pada pengambilan keputusan oleh anak ketika dewasa. Salah satunya dikarenakan sejak dini sudah dididik untuk bertanggung jawab dengan sampahnya sendiri dan terpatri di dalam dirinya sehingga ketika dewasa anak akan bertanggung terhadap keputusan-keputusan yang diambil.
Sapta menambahkan bahwa salah satu efek yang akan terjadi bila seorang anak belajar menjaga lingkungan adalah anak mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dalam sebuah kelompok. “Di situ akan terlihat kemampuan anak dalam menyampaikan informasi, perkembangan bahasanya akan jauh lebih meningkat apalagi untuk anak usia dini, bagaimana dia belajar merencanakan kemudian membimbing rekannya sendiri, dan memonitor perilaku dari mereka sendiri. Hal ini terjadi ketika anak itu dilibatkan pada proses di dalam sebuah kelompok atau lingkungan sehingga kemampuan kognitifnya berkembang maksimal” tambah Sapta.
“Dengan kita memahamkan tentang peduli lingkungan untuk karakter anak efeknya sangat luar biasa. Efek positif bukan hanya sekadar tempat menjadi bersih saja sebenarnya di situ adalah proses pengelolaan diri secara sosial dan itu akan berkembang sehingga kecerdasan sosial itu akan muncul” tambah Sapta.
“Salah satu contoh yang bisa dilakukan orang tua agar anak peduli terhadap lingkungan adalah dengan mengajak anak menanam tanaman atau pohon, membuang sampah pada tempatnya, hemat menggunakan air dan listrik, mematikan keran air setelah selesai mandi, tidak menyalakan lampu saat hari masih terang, dan masih banyak hal lainnya” ungkap Febri.
Sapta memaparkan ada beberapa tahapan pengenalan lingkungan sesuai usia anak dan sangat penting memahaminya karena tidak mungkin mengenalkan lingkungan dengan bahasa orang dewasa kepada anak yang berusia 2 tahun. Tahap pertama, sensori motori di bawah usia 2 tahun. Pada usia ini anak proses membangun pemahaman tentang dunia dan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman dari sensornya. Kedua, tahap pra operasional, usia 2-7 tahun dimana anak sudah mulai memahami makna dan simbol. Pada tahap ini anak bisa diajarkan misalnya bangun tidur membersijkan diri dan tempat tidur, menyapu kamar, sambil memberikan reward disertai penguatan postif dan bersifat menyenangkan. Membuang sampah pada tempatnya, menyiram tanaman, menjaga tanaman, dan hal lainnya. Tahap ketiga adalah Tahapan operasional konkret, usia 7-11 tahun. Anak-anak mampu diajak diskusi dan berpikir logis dan mampu menerapkan dan memberikan intruksi. Orang tua mampu menerapkan hal-hal yang bersifat kesepakatan misalnya apa yang harus dilakukan untuk menjaga kebersihan rumah.
Tahap ke empat, operasi formal yaitu mampu berpikir formal, usia 11 tahun ke atas. Kemampuan berpikir anak sudah logis dan dapat menarik kesimpulan dari informasi. Anak mampu diajak berdiskusi efek jika tidak membuang sampah pada tempatnya. “Pada tahap ini anak seharusnya jauh lebih baik dari usia di bawahnya” tandas Sapta.
Di akhir kuliah, Febri dan Sapta mengajak orang tua untuk konsisten melakukan kegiatan-kegiatan tersebut terus menerus hingga menjadi kebiasaan dan budaya bagi anak.