Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta (UP45) telah menyelenggarakan Diskusi Ilmiah pada tanggal 4 Januari 2019. Acara ini diprakarsai oleh Rektor UP45 (Ir. Bambang Irjanto, M.BA.) dan membahas Kasus Investasi PT Petamina (Persero) di Blok Basker, Manta & Gummy (BMG), Australia. Dalam pembukaan, Rektor menuturkan bahwa LKBH mengadakan acara ini sesuai dengan Visi-Misi UP45, yakni sebagai Petroleum University. Oleh karena itu, sudah sewajarnya UP45 Yogyakarta mengadakan forum kajian iptek terkait berbagai hal yang terjadi di dunia migas.
Dari beragam sumber yang ada di publik, terinformasikan bahwa kasus ini diawali dengan keinginan Pertamina untuk meningkatkan cadangan dan produksinya. Hal ini sejalan dengan Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2009, dan upaya Pertamina dalam menjamin kelancaran pasokan BBM nasional.
Pada bulan Januari 2009 konon Pertamina mendapatkan penawaran investasi di Blok BMG, Australia. Tawaran ini disampaikan oleh Citibank Australia melalui Citibank Indonesia kepada Pertamina. Kemudian tawaran tersebut dikaji oleh Tim Internal Pertamina dan oleh dua konsultan luar (Tim Eksternal), yaitu Deloitte untuk finansial dan Baker McKenzie untuk legal.
Mengacu kepada berita Majalah Tempo Edisi 1 Oktober 2018 (Hal. 66-67), setelah melalui kajian oleh Tim Internal dan Eksternal, pada tanggal 22 April 2009 Direksi Pertamina memohon persetujuan Dewan Komisaris (Dekom) untuk melakukan investasi akuisisi di Blok BMG, Australia. Atas permohonan Direksi tersebut, Dekom menyetujuinya pada tanggal 30 April 2009. Namun demikian, setelah hampir 10 tahun sejak investasi ini dilakukan, kejaksaan mendadak mentersangkakan 4 orang mantan manajemen Pertamina pada bulan Agustus dan September 2018. Keempat tersangka tersebut adalah: Galaila Karen Kardinah (Mantan Dirut Pertamina), Ferederick S.T. Siahaan (Mantan Direktur Keuangan), Genades Panjaitan (Mantan Chief Legal Counsel), dan Bayu Kristanto (Mantan Manager M&A). Dua tuduhan yang disangkakan adalah: (1) Tidak ada persetujuan Dekom dan (2) Tidak ada uji tuntas (due dilligence).
Dari diskusi, terkuak bahwa meski Dekom sudah memberikan persetujuan (Memo 30/04/2009), namun dibatalkan lagi melalui memonya kepada Direksi tertanggal 27 Mei 2009. Adapun alasan pembatalan adalah bahwa persetujuannya hanya untuk Pelatihan SDM Pertamina dalam mengikuti bidding di luar negeri (Australia). Sementara, pada saat yang bersamaan telah terjadi penandatangan Sales Purchase Agreement (SPA) oleh Direktur Keuangan Pertamina dan pemilik Blok BMG (ROC Oil Company Ltd.) di Sydney Australia.
Perubahan sikap Dekom, semula setuju kemudian tidak, telah menyulitkan Direksi. Hal ini karena dengan adanya persetujuan dari Dekom, Direksi sudah menindaklanjutinya dengan cara mengikuti proses pelelangan, memenangkan pelelangan, dan menandatangani SPA. Tentu saja sebagai akibat dari penandatanganan SPA, Pertamina harus melaksanakan seluruh kewajiban lainnya sesuai dengan tenggat waktu yang tertuang dalam perjanjian. Jika tidak, maka kepada Pertamina bisa dikenakan gugatan hukum dan denda. Seorang peserta berpendapat, bahwa dalam sebuah korporasi, kewenangan untuk melakukan pelatihan SDM biasanya bukan menjadi ranahnya Dekom, tapi Direksi! Sehingga, alasan membatalkan persetujuan tersebut menjadi “lucu” dalam tata-kelola bisnis di sebuah korporasi.
Dari pemahaman para peserta diskusi atas kasus yang disangkakan, sekilas nampak ada ketidak-serasian antara Dekom dan Direksi. Terkesan Dekom tidak atau kurang memahami makna dari mengikuti bidding dalam dunia hulu migas, utamanya di luar negeri (Australia). Jika masalahnya adalah kesalah-pahaman antara Dekom dan Direksi, mengapa kemudian Jaksa melakukan penuntutan seolah terjadi Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Lantas di mana PMH-nya? Pertanyaan tersebut sempat muncul di benak para peserta, namun tak seorangpun menemukan jawaban yang memuaskan.
Lebih jauh lagi, menurut Majalah Tempo Edisi 1 Oktober 2018 Hal. 73, Dekom pada tanggal 23 Juni 2009 ternyata menyetujui kembali Direksi melanjutkan akuisisi hak pengelolaan di Blok BMG. Fakta lainnya, kepada Dekom dan Direksi telah diberikan pelunasan dan pembebasan tanggung jawab (volledig acquit et de charge) Tahun Buku 2009 dalam RUPS-LB PT Pertamina (Persero) 2010. Dari fakta-fakta tersebut terlihat bahwa masalah persetujuan Dekom menjadi sesuatu yang aneh kalau dijadikan dakwakan menurut beberapa peserta.
Sementara, kalau Kejaksaan menggunakan kerugian negara sebagai dasar, inipun masih kontroversial. Mengapa? Dari pemahaman para peserta, investasi Pertamina di Blok BMG telah dilakukan audit oleh BPK pada tahun 2012 aksi korporasi ketahanan energi dan kriminalisasi dengan hasil tidak ada temuan. Alih-alih memperhatikan hasil laporan BPK sebagai lembaga yang berwenang memeriksa dan telah menyatakan tidak ada kerugian negara, kejaksaan justru menggunakan Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk menghitung nilai kerugian investasi dan menyatakan adanya kerugian negara. Di lain pihak, setiap tahunnya Pertamina selalu membukukan keuntungan Perseroan dan menyetor dividennya kepada negara. Jika demikian, lantas dengan cara apa negara dirugikan?
Memperhatikan berbagai kejanggalan di atas, para peserta diskusi berpendapat bahwa dakwaan kejaksaan mengada-ada dan dipaksakan. Sehingga, dalam diskusi telah menimbulkan pertanyaan: “Apa sebenarnya yang dicari oleh kejaksaan?” Dari pemahaman para peserta, untuk bisa mempidanakan seseorang diperlukan adanya niat jahat (mens rea) dari orang tersebut. Sementara dalam kasus ini tidak terlihat adanya niat jahat yang dimaksud. Artinya, kasus ini murni sebuah business judgement rule, dan bukan tindak pidana korupsi (Tipikor) seperti yang disangkakan.
Kini, sudah empat orang yang dijadikan tersangka, dua orang diantaranya sudah disidangkan sejak November 2018. Sementara mantan Dirut Pertamina, menurut info, pada akhir Januari 2019 juga akan disidangkan. Sedangkan satu tersangka lainnya masih belum dilakukan penahanan dan belum jelas kapan akan disidangkan.
Mengacu kepada prinsip azas praduga tak bersalah (presumption of innocent), para Dosen dan Peneliti Prodi Psikologi UP45 berpendapat bahwa kerusakan psikologis dari para tersangka sudah terjadi. Hal ini karena penahanan sudah berlangsung relatif lama, dan opini publik sudah terbentuk sebelum ada keputusan hukum yang tetap melalui pengadilan. Di lain pihak, para tersangka telah berhasil membawa Pertamina ke kelas dunia, dan telah menyetorkan keuntungan yang sangat besar kepada negara. Peserta dari Prodi Psikologi kemudian mempertanyakan:”Untuk apa bekerja keras membanting-tulang, kalau akhirnya didakwa dengan kesalahan yang dicari-cari?”
Para peserta diskusi juga berpendapat, bukan hanya para tersangka yang tersiksa saat ini, tapi para direksi BUMN lainnya pun telah dan akan terus terdemotivasi dalam mengembangkan kegiatan bisnisnya. Mereka takut dikriminalisasi kelak dikemudian hari. Oleh karena itu keputusan pengadilan dalam kasus BMG ini akan menjadi perhatian dalam berbagai kajian ilmiah di kampus. Atas dasar hal tersebut, LKBH UP45 dan para peserta diskusi telah sepakat untuk terus mencermati serta mengikuti persidangan ini sampai selesai.
Diskusi ini pun berakhir pada pukul 15.00 WIB, semoga kasus ini menjadi pelajaran yang berharga bagi civitas akademika UP45 khususnya, dan umumnya bagi masyarakat serta Perguruan Tinggi lainnya. (SA-BI)