Kecukupan energi adalah rasio antara energi yang dihasilkan dengan energi yang terpakai, cukup dapat dikatakan jika antara energi yang dihasilkan dan dikeluarkan sama dengan nol atau seimbang. Kecukupan energi juga merupakan salah satu ukuran berkembangnya suatu negara. Diakui bahwa kecukupan energi akan sangat sulit tercapai jika pemangku kepentingan yang juga dalam hal ini adalah pemerintah tidak berkomitmen secara penuh dalam mengembangkan teknologi eksplorasi suatu sistem yang lebih baik sehingga dapat digunakan untuk memproduksi suatu energi yang efektif dan efisien termasuk energi terbarukan yang berkelanjutan.
Kekayaan akan sumber-sumber energi terbarukan yang berkelanjutan di negara ini begitu terlihat jelas potensi yang cukup besar sekali, salah satunya adalah apa yang disebut biomassa. Biomassa secara umum bermakna jumlah keseluruhan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan dalam menjadi bentuk energi. Kayu, rumput, alga laut, mikroalga, limbah pertanian, limbah kehutanan, dan limbah rumah tangga adalah termasuk kategori biomassa.
Pada saat negara yang memiliki kekayaan akan sumber daya akan energi fosil seperti Uni Emirat Arab (UEA), dengan serius mengembangkan dan menggunakan potensi energi terbarukan (panas matahari), pemerintah kita mungkin masih dalam pembahasan dalam bentuk wacana untuk ditindak lanjuti, atau masih tertuang diatas kertas yang didalamnya ada kesepakatan-kesepakatan dan seberapa besar keuntungan yang akan didapat oleh investor.
Pemerintah UEA mampu mengembangkan model investasi pembangkit tenaga surya dengan harga jual yang murah yakni hanya dengan harga 2,45-2,9 sen dollar AS per KWh, dan dibandingkan dengan Indonesia, rata-rata harga yang dipatok oleh investor adalah 10 sen dollar AS Per KWh untuk jenis pembangkit yang sama. Bagaimana dengan harga per kWh potensi energi listrik dari sampah? Harga jual listrik yang dihasilkan PLTSA (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) Benowo – Jawa Timur ke PLN sekitar USD 9 sen per KWh. Artinya, pemerintah perlu mengkaji ulang sistem rantai pasok proses produksi energi listrik sehingga dapat bersaing sehingga memacu kecukupan energi listrik di seluruh Indonesia. Sejalan dengan itu, ambisi pemerintah pada mega proyek kelistrikan sebesar 35 ribu MW hingga tahun 2019 patut di beri apresiasi, kombinasi antara penggunaan energi fosil dan energi terbarukan dilakukan untuk mendukung mega proyek tersebut. Namun, selama 10 bulan terakhir, pembangkit listrik yang beroperasi (Commercial Operation Date/COD) baru sekitar 36% dari target akumulatif 2016. Untuk diketahui, pada tahun 2013 dan tahun 2016 kebutuhan tenaga listrik nasional berturut-turut adalah sebesar 190 TWh dan 232 TWh, dengan sektor rumah tangga yang paling mendominasi penggunaan energi listrik sekitar 41%, sektor industri 34%, sektor komersial 24% dan sektor transportasi 0,1%. Kemudian, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan, diyakini penggunaan energi listrik dari sektor industri akan mendominasi dan menggeser sektor rumah tangga dalam penggunaan listrik. Bagaimanapun juga, perkembangan industri akan mendorong kemajuan teknologi. Dengan kemajuan teknologi, penggunaan listrik di sektor rumah tangga konsumtif akan dapat dikendalikan, sebaliknya penggunaan listrik didorong untuk memenuhi keperluan produktif.
Pembangunan pembangkit listrik di Indonesia memang memiliki banyak masalah, dimulai dari kendala teknis, kendala non-teknis dan saat ini terakumulasikan pada pembangkit listrik dari energi terbarukan yang berkelanjutan memiliki kendala dengan penggunaan teknologi yang cocok dan kendala kesepakatan harga jual. Karena begitu banyak kendala, pemerintah seharusnya mulai melakukan sesuatu yang dapat mengatasi kendala-kendala tersebut. Jika pembangkit listrik saat ini yang masih konvensional begitu terasa sulit untuk terealisasi dengan cepat karena terkendala teknis dan non-teknis, maka sudah saat nya dimulai dengan pebangunan pembangkit listrik yang paling mudah dilakukan, yaitu membangun pembangkit listrik per rumah tangga dengan memanfaatkan biomass yang tersedia, tentu peran serta pemerintah setempat sangat dibutuhkan untuk merealisasikan ini.
Teknologi seperti pirolisis maupun gasifikasi, dapat digunakan untuk membuat pembangkit listrik energi terbarukan ini menjadi nyata. Mungkin terasa berat di awal, namun jika masyarakat sudah di edukasi tentang pentingnya ketahanan energi untuk wilayah tempat tinggal masing-masing, maka untuk selanjutnya akan mudah untuk menerapkan secara berkelanjutan. Pemerintah harus berani untuk mengeluarkan subsidi untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga biomass, pemerintah sudah pernah mengambil kebijakan mengeluarkan subsidi untuk minyak tanah, subsidi untuk BBM jenis premium dan solar, kemudian pemerintah mengeluarkan subsidi untuk LPG, sampai saat ini pemerintah masih mengeluarkan subsidi untuk listrik dibawah 900 KVA, jadi seharusnya saat ini pemerintah menerapkan visi kedepan, mencabut subsidi untuk sesuatu yang sebenarnya tidak penting lagi. Jika subsidi minyak tanah dihentikan, maka dengan teknologi pirolisis, dapat menghasilkan gas dan bio oil yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Jika subsidi listrik untuk pelanggan dibawah 900 KVA khususnya di kota-kota besar dihentikan, maka pemerintah dapat mulai mensubsidi pembangkit listrik dari energi terbarukan yang berkelanjutan dengan rupiah yang besar.
Masih banyak jenis subsidi yang dapat dikurangi atau pantas untuk dihentikan karena telah teridentifikasi tidak tepat sasaran. Visi pemerintah yang tertuang dalam BPPT-Outlook Energi Indonesia tahun 2016 dan RUPTL-PLN 2016-2025 hanya akan menjadi sekedar wacana dan akan dilanjutkan dengan buku tahunan serupa. Menteri ESDM, bapak Ignasius Jonan pernahh membuat pernyataan di salah satu koran nasional bahwa “35 ribu MW elektrifikasi tidak akan terealisasi sampai 2019 atau sesuai target yang ditentukan, dan hanya terealisasi sekitar 18 – 20 ribu MW, dan itu sudah bagus”. Jadi, kita tunggu saja bagaimana nasib 35 ribu MW. Pemerintah sehat? (Syaiful Mansyur)