Kepentingan Asing Dalam Liberalisasi Sektor Migas Di Indonesia
Energy Management and Governance Institute (EMGI) UP45 kembali mengadakan acara bedah buku dengan judul Kepentingan Asing Dalam Liberalisasi Sektor Migas Di Indonesia (Selasa, 29/11/2016). Pembedah buku kali ini adalah Ilmal Yaqin, SH., LLM. (Dosen Fakultas Hukum UP45). Ilmal mengatakan bahwa perkembangan migas di Indonesia tak terlepas dari campur tangan asing. Evolusi kebijakan dalam dunia migas terus terjadi. Di Indonesia, evolusi kebijakan migas terbagi dalam 3 periode yaitu kebijakan migas pada masa orde lama, kebijakan migas pada masa orde baru dan kebijakan migas masa reformasi.
1. Kebijakan migas pada masa orde lama
Pada masa ini semua minyak dan gas bumi yang ditemukan di Indonesia adalah aset nasional dan diatur oleh negara; Pertambangan minyak dan gas bumi hanya dilakukan oleh negara dan dilakukan oleh perusahaan negara; Kementerian pertambangan dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor perusahaan jika diperlukan; Kontrak karya perusahaan negara dan kontraktor lainnya harus dilegalisasi hukum; Kewenangan untuk menambang tidak termasuk di dalamnya hak-hak permukaan tanah; Jika ada hak tanah lain yang bukan hak negara dan berbenturan dengan kegiatan otoritas tambang, maka pemilik tanah akan mendapatkan kompensasi.
2. Kebijakan migas pada masa orde baru
Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi negara, Pertamina ditetapkan sebagai satu-satunya perusahaan minyak negara yang diharapkan mendatangkan keuntungan bagi negara. Undang-undang ini menetapkan 2 tanggung jawab pertamina, yakni sebagai pengelola sumber daya migas dan sebagai perangkat negara yang berkewajiban memberikan pelayanan dalam penyediaan BBM bagi publik. Pada masa ini ada usulan untuk merubah UU No. 8 Tahun 1971 karena tata kelola migas masih dinilai buruk.
3. Kebijakan migas pada masa reformasi
Sejak hadirnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, PSC tidak lagi menjadi satu-satunya kontrak kerja. Kontrak kerja dapat dilakukan juga dengan sistem Kontrak Kerja Sama (KKS). Pemerintahan pada masa orde baru dan Reformasi berusaha meningkatkan investasi swasta maupun asing untuk masuk ke dalam usaha industri migas di tanah air.
Campur Tangan Asing dalam RUU Migas Era Reformasi
Ilmal mengatakan banyak pihak yang menilai bahwa UU No, 22 Tahun 2001 tentang migas sangat liberal, karena mengusung norma-norma neoliberal yang ditetapkan dalam persyaratan IMF yang tertuang dalam LoI untuk pemerintah indonesia.
Peningkatan peran asing dalam industri migas di Indonesia tidak terlepas dari pemberlakuan UU No. 22 Tahun 2001 yang menjadi dasar privatisasi dan liberalisasi di tingkat hulu dan hilir industri migas di Indonesia. Menurutnya UU No. 22 Tahun 2001 menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pasal yang menimbulkan pro dan kontra yang dikutip ilmal dari M. Khalid yaitu negara kehilangan kendali atau alat untuk menjamin keamanan pasokan bahan bakar minyak dan bahan bakar gas; perpindahan otoritas penguasaan migas dari Pertamina juga berdampak pada ketidakmampuan Indonesia memproduksi dan mengontrol cadangan minyak mentah serta ketidakmampuan menentukan volume ekspor pada skala dunia; pemberlakuan UU Migas menyebabkan ketidakmenentuan iklim investasi sektor hulu migas karena tidak didukung kebijakan fiscal; perombakan Pertamina dari perusahaan skala besar menjadi perusahaan minyak yang berskala kecil; UU Migas ini merombak prosedur investasi migas dalam format yang lebih birokratis dari sebelumnya, yaitu dari satu atap menjadi tiga atap; UU Migas menutup pintu bagi Indonesia untuk menegaskan kepentingan nasional di hadapan kontraktor asing. (IY/FAG)