Nasib Transformasi Kelembagaan SKK Migas

SKK Migas adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Republik Indonesia untuk menggantikan BP Migas yang dibubarkan Mahkamah Konstitusi karena dinyatakan inkonstitusional. SKK Migas bertugas melaksanakan pengelolaan dan pengawasan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama. Sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012, pembentukan lembaga ini hanya bersifat sementara untuk selanjutnya akan dibentuk lembaga pengganti berbentuk BUMN.

Masalah tata kelola migas seperti kontrak wilayah kerja migas, insentif, cost recovery, dan status kelembagaan SKK migas yang sesuai dengan amanat keputusan Mahkamah Konstitusi masih menjadi kendala di sepanjang tahun 2016 yang lalu bagi Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyelesaikan draft revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi (Migas). Ada beberapa pilihan transformasi kelembagaan SKK migas yang mengemuka dari pihak pemerintah dan DPR yaitu dilebur dengan pertamina atau dijadikan BUMN Khusus. Akan tetapi hingga sekarang wacana perubahan status kelembagaan SKK Migas masih menjadi perdebatan.

Pemerintah melalui kementerian ESDM telah mengajukan usulan perubahan SKK migas menjadi BUMNK dalam pembahasan RUU migas bersama DPR. Pemerintah akan  memberi izin kepada BUMN dan kepada BUMN Khusus untuk  melaksanakan kegiatan pengusahaan migas. BUMN yaitu Pertamina mengusahakan wilayah kerja migasnya sendiri. Sementara, BUMNK mengusahakan wilayah kerja KKKS, baik menggunakan kontrak bagi hasil maupun kontrak skema gross split. Aset migas di Indonesia akan tetap dikelola oleh BUMNK dengan perspektif bisnis seperti korporasi dan diberikan kewenangan untuk membuat perjanjian dengan kontraktor. Akan tetapi, pengelolaan BUMNK tetap berada di bawah pengawasan Kementerian ESDM. BUMNK nantinya akan tunduk pada UU Migas dan UU perseroan BUMN.

Anggota DPR komisi VII Inas dalam keterangannya kepada katadata berpendapat bahwa keberadaan SKK Migas saat ini merupakan salah satu bentuk inefisiensi dalam pengelolaan migas nasional. Bahkan, jika dijadikan BUMN Khusus pun bisnisnya malah akan berbenturan dengan PT Pertamina. Akan lebih baik jika  SKK Migas dilebur dengan Pertamina. Sehingga peran regulasi akan kembali dipegang Pertamina, seperti sebelum adanya UU Migas no 22 tahun 2001.

Sejalan dengan pendapat Inas, Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto pernah mengungkapkan keinginannya agar dapat memanfaatkan aset cadangan migas yang dikelola SKK Migas. Dengan menguasai aset tersebut, Pertamina dapat meningkatkan kemampuan pendanaannya sehingga lebih memudahkan dalam mencari pinjaman untuk membiayai modal investasi terutama di sektor hulu migas. Hal ini dimaksudkan untuk membangun kedaulatan dan kemandirian energi.

Apabila SKK migas dilebur dengan pertamina, ini mengingatkan kita kembali pada peran pertamina dalam UU no 8 tahun 1971. Saat itu berlaku sistem dua kaki, dimana pertamina bertindak sebagai badan usaha sekaligus pembuat aturan pengendalian dan pengawasan terhadap perusahaan minyak lain. Apabila fungsi regulasi dan pengawasan bergabung dalam suatu badan usaha maka hal ini dapat menimbulkan monopoli usaha yang justru akan mengurangi minat investor asing untuk berinvestasi di migas Indonesia. Padahal seperti yang telah kita ketahui wilayah kerja eksplorasi di Indonesia memasuki era ….., sehingga untuk mengurangi resiko, pemerintah perlu bekerjasama dengan investor asing. Oleh karena itu, Pertamina harus terus menjadi lembaga yang tanpa memiliki fungsi regulasi dan fungsi pengawasan di sektor migas. Pelimpahan aset SKK migas pada pertamina yang digunakan sebagai modal pinjaman hutang dan modal investasi pada industri hulu migas malah akan beresiko tinggi bila eksplorasi tidak berhasil atau harga minyak merosot seperti pada awal tahun 2016 yang sempat menyentuh angka 26 US$/ barrel. Di sisi lain, transformasi SKK migas menjadi BUMNK selanjutnya akan menimbulkan pertanyaan tentang kejelasan pembagian perannya dengan PT Pertamina.

SKK migas sebagai lembaga dengan fungsi regulasi dan pengawasan sebaiknya berdiri sendiri dan tidak berada dibawah badan usaha pemerintah. SKK migas hanya perlu di berikan landasan hukum yang kuat.

Apapun keputusan bentuk kelembagaan SKK Migas nantinya, harapannya, pilihan itu haruslah sesuai dengan amanat UUD pasal 33 dan putusan MK serta dilandasi sejumlah konsep dan aturan hukum yang jelas agar dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha industri migas sehingga menarik minat mereka untuk berinvestasi di sektor hulu migas Indonesia. (D.S)