Kebutuhan Undang-Undang Migas Baru Bagi Masa Depan Tata Kelola Migas Indonesia
Problematika pengelolaan minyak dan gas (Migas) di Indonesia selama beberapa tahun ini tidak lepas dari adanya Undang-Undang Migas nomor 22 tahun 2001 yang oleh banyak praktisi maupun analis migas di negara ini dianggap sebagai akar masalahnya. Banyaknya problematika yang timbul dalam tata kelola migas terkait peraturan didalam Undang-Undang Migas nomor 22 tahun 2001 bisa dilihat dari adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI tahun 2012 terkait Judicial Review yang diajukan terhadap Undang-Undang tersebut, salah satunya yaitu membubarkan Badan Pelaksana Minyak Dan Gas (BP MIGAS) RI.
Banyaknya permasalahan yang muncul akibat peraturan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 membuat banyak pihak merasa perlu hadirnya Undang-Undang yang baru menggantikan Undang-Undang Migas sebelumnya. UU Migas dibutuhkan sebagai payung hukum untuk memutuskan hal-hal strategis terkait migas, sesuai amanat MK bahwa pengganti SKK Migas haruslah berbentuk BUMN. Tahun 2008, RUU Migas yang baru diajukan dan mulai di bahas di DPR RI.
Selama hampir 9 tahun hingga saat ini proses pembahasan RUU Migas masih stagnan di DPR RI dan tidak ada progres yang signifikan. Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas, Fahmy Radhi mengatakan, pembahasan RUU Migas yang merupakan inisiatif DPR sudah mendesak untuk segera disahkan. Salah satu alasan perlunya UU Migas baru ini dikarenakan banyak keputusan strategis yang tidak bisa dilakukan akibat belum ada payung hukumnya.
Jika RUU Migas bisa segera difinalisasi menjadi Undang-Undang Migas yang baru, maka diharapkan bisa menjadi solusi dari problema pengelolaan migas yang hingga kini masih menjadi masalah besar. Secara umum masalah di sektor migas masih kental soal perizinan. Masalah lain yang ada dalam tata kelola migas saat ini yaitu banyak pemerintah daerah membuat aturan berbeda dengan pemerintah pusat terkait pengelolaan migas di daerah. Salah satu yang menjadi perhatian dalam perumusan RUU Migas tersebut adalah posisi PT Pertamina. Sempat mencuat wacana bahwa Pertamina akan memegang fungsi regulator yang kini dipegang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yaitu mencakup melelang blok dan menandatangani kontrak.
Selama ini tata kelola migas Indonesia terjebak dalam rezim hukum kapitalis liberalis yang mengakibatkan pengelolaan migas pada sektor hulu telah berada dalam penguasaan pihak asing. Ketua Pusat Studi Hukum, Ekonomi, dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Makassar, Juajir Sumardi, dalam keterangan tertulisnya mengatakan, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas tidak mengimplemetasikan hakikat kedaulatan negara terhadap migas dan tidak sesuai amanat UUD 1945, sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan 17 pasalnya. Salah satu yang harus masuk dalam rumusan RUU Migas yang baru nantinya yaitu pemerintah diminta membentuk Badan Usaha Khusus minyak dan gas bumi (BUK Migas) yang sahamnya 100 persen dimiliki pemerintah.
UU Migas juga harus menetapkan Pertamina sebagai BUKM. Pemerintah menugaskan BUKM untuk menyediakan cadangan strategis migas guna mendukung penyediaan BBM dalam negeri yang biasanya disediakan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut memang sangat penting, mengingat pada UU Migas No.22 Tahun 2001 atau UU Migas yang lama, penguasaan Migas di bagian hulu 85 persen dikuasai asing, karena UU Nomor 22 Tahun 2001 memberikan sepenuhnya kepada asing. Sebesar 85 persen di hulu sudah dikuasai oleh kontraktor-kontraktor asing, hal itu sangat membahayakan bagi ketahanan energi nasional Indonesia.
Kebijkan penguasaan migas di hulu kepada banyak perusahaan asing juga merupakan bagian dari sebuah praktek politik global yang ingin mengebiri perusahaan negara di Indonesia yang bernama Pertamina ini sengaja dikecilkan perannya. Kemudian terkait cadangan energi nasional, cadangan BBM Indonesia hanya 18 hari, sementara jika dibandingkan ketahanan energi di Singapura, Korea, dan dibeberapa negara lain bisa selama 90 hari. Ini sangat rentan pada ketahanan nasional Indonesia.
Arti hadirnya UU Migas yang baru memang sangat penting bagi masa depan tata kelola Migas di Indonesia. Sudah saatnya Indonesia berdaulat dalam mengatur industri Migasnya. (Wahyu Suroatmojo;2017)