Metode Belajar Yang Membumi Pada Psikologi Lingkungan
<p style="text-align:justify">Menyuruh mahasiswa mempraktekkan ilmu yang diterima di bangku kuliah dalam kehidupan sehari-har, ternyata tidak gampang. Hambatannya antara lain mahasiswa merasa belum lulus S1 sehingga mereka merasa belum perlu mempraktekkan ilmu dalam perilaku sehari-hari. Hambatan yang lain adalah malas, tidak memahami pengetahuan yang diterimanya namun malu bertanya, tidak percaya diri, dan tidak membutuhkannya. Mengapa mahasiswa tidak membutuhkan praktek ketrampilan / pengetahuan? Mahasiswa lebih membutuhkan nilai daripada terampil dan berpengetahuan luas dalam bidang psikologi. Hal ini bisa dibuktikan ketika mahasiswa mendapatkan nilai C atau D, maka responnya adalah menyalahkan dosen. Mahasiswa merasa ia harus mendapatkan nilai A untuk semua pelajaran.</p>
<p style="text-align:justify">Bila semua mahasiswa pada semua pelajaran ingin mendapatkan nilai A, maka ada dua kemungkinannya. Pertama, dosennya bodoh, takut pada mahasiswa dan tidak bekerja dengan benar (misalnya memeriksa hasil ujian mahasiswanya) sehingga semua mahasiswa mendapat nilai A. Kemungkinan kedua, kurikulum atau materi pelajarannya sangat mudah sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Sebagai contoh, bila mahasiswa diberi pelajaran matematika sederhana, pasti semuanya mampu mengerjakan dengan benar. Tidak bisa dibedakan antara mahasiswa pandai dan yang bodoh. Situasi yang ada pada dosen ini membuat mahasiswa juga malas untuk mempraktekkan ilmu yang diperolehnya di bangku kuliah.</p>
<p style="text-align:justify">Hal sebaliknya, bila pada kenyataannya mayoritas mahasiswa mendapat nilai C atau D, maka hal itu juga menghambat mahasiswa untuk menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa merasa penerapan ilmu tidak ada gunanya, dan mungkin juga merasa dendam pada dosennya. Mahasiswa merasa sudah mematuhi semua instruksi dosennya yaitu rajin masuk kuliah, mengerjakan tugas tepat waktu, mengerjakan ujian sebaik-baiknya, tidak mencontek, namun nilainya tetap saja C atau D. Dosen dituduh sebagai subjektif dalam memberikan nilai. Hanya mahasiswa tertentu saja yang mendapatkan nilai A atau B. Jadi untuk apa mempraktekkan psikologi dalam kehidupan sehari-hari?</p>
<div style="text-align:justify">Hambatan-hambatan penerapan praktis <strong>psikologi</strong> dalam kehidupan sehari-hari yang datang baik dari mahasiswa, dosen, atau kurikulumnya, jelas-jelas akan merugikan mahasiswa. Ketika lulus kelak, para alumni akan kebingungan menentukan apa saja yang akan dilakukannya. Mereka tidak tahu cara-cara menjadi karyawan yang baik, selain hanya datang tepat waktu, senyum-senyum pada rekan kerja, dan sedihnya, hanya menunggu perintah saja dari atasan. Semua itu tidak ada yang keliru, hanya perilaku-perilaku tersebut sangat kurang bagi para alumni <strong>Psikologi UP45</strong> yang kini mendapat gelar sebagai generasi Y (orang-orang yang lahir sekitar tahun 1990an-2000an). Orang-orang yang bergen Y, dituntut untuk kreatif, <em>multi tasking</em> (mampu mengerjakan beberapa tugas sekaligus), dan sangat <em>literate</em> dengan alat-alat komunikasi mutakhir.</div>
<div style="text-align:justify"> </div>
<div style="text-align:justify">Mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, maka materi pelajaran Psikologi Lingkungan di <strong>Fakultas Psikologi UP45</strong> disusun lebih membumi. Tujuannya adalah mahasiswa menjadi lebih menghayati tentang perilaku peduli pada lingkungan. Apa saja kongkritnya metode yang membumi itu? Singkatnya, mahasiswa yang mengikuti pelajaran <strong>Psikologi Lingkungan</strong> harus menjadi nasabah <strong>Bank Sampah</strong> yang lokasinya di mana saja di Yogyakarta. Instruksinya sudah sangat jelas, namun kenyataannya masih banyak mahasiswa yang tidak tahu lokasi <strong>Bank Sampah</strong> di Yogyakarta. Akhirnya, setelah berburu informasi, ditemukanlah lokasi <strong>Bank Sampah</strong> di tengah-tengah kota Yogyakarta, yaitu di dekat Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta.</div>
<div style="text-align:justify"> </div>
<div style="text-align:justify">
<div>Menuju lokasi <strong>Bank Sampah</strong> tersebut, mahasiswa masih harus didampingi dosen. Ini karena mereka masih bingung bila berkenalan dengan warga pengelola <strong>Bank Sampah</strong> yang usianya jauh lebih tua daripada mahasiswa. Selain itu, pada umumnya mahasiswa berasal dari luar Yogyakarta sehingga mereka tidak mengetahui denah kota Yogyakarta. Lelucon satire untuk mahasiswa pendatang ini adalah mahasiswa jenis kupu-kupu atau kuliah pulang, kuliah pulang. Mereka hanya bisa berangkat kuliah dari tempat pondokan kemudian pulang. Begitulah ritme sehari-hari para mahasiswa.</div>
<div> </div>
<div>Adanya keharusan menjadi nasabah <strong>Bank Sampah</strong> ini menjadikan mahasiswa <strong>Fakultas Psikologi UP45</strong> menjadi lebih mengenal kota Yogyakarta, terampil berinteraksi dengan ibu-ibu pengelola <strong>Bank Sampah</strong>, dan yang penting perilakunya menjadi lebih peduli pada lingkungan. Diharapkan kelak ketika sudah menjadi alumni, maka mereka menjadi figur teladan di tempat kerjanya dan juga menjadi generasi Y yang dibanggakan oleh alma maternya, <strong>Fakultas Psikologi UP45.</strong></div>
<div> </div>
<div>Dari hasil kunjungan perdana ke <strong>Bank Sampah</strong> di Kauman Yogyakarta pada 18 Maret 2016 yang lalu, sekitar 20 mahasiswa berhasil menjadi nasabah. Tidak ketinggalan dosennya juga ikut menjadi nasabah, yaitu Ibu Dewi Handayani Harahap, S.Psi., Bapak FX. Wahyu Widiantoro, S.Psi., MA. Dan Ibu Dra. Muslimah Z. Romas, M.Si. Para dosen ini diharapkan menjadi suri tauladan bagi para mahasiswanya untuk peduli pada lingkungan hidup.</div>
</div>